Sekarang aku duduk diantara mereka lagi, kulihat
Andi tak berkata apapun sedangkan yang lain bersenda gurau. Aku hanya mengikuti
orang-orang, mereka tertawa, aku juga. Mereka memandang yang berbicara, aku
juga. Namun, aku merasa di tatap dengan aneh, tatapan yang dingin oleh mereka.
Tatatapan Andi pun sama, ya tuhan.. apa yang terjadi.
Obrolan dibuka oleh ibu yang menanyai apa
kabarku. Andi meminta Moni untuk membawa obat merah dan perban. Ayah pun sama,
ia hanya menatapku dingin. Sekali lagi, aku hanya diam. Semua orang di ruang
tamu satu persatu meninggalkan kami. Hanya ada aku, Andi, orang tua Andi, Moni,
dan 2 orang ibu dan bapak dengan anak gadis yang duduk di antara meraka. Sambil
membersihkan lukaku, Moni menatap dengan kesedihan yang tak kupahami. Seorang
ibu mencelutuk dari jauh, wah calon pengantin nya sudah pulang dari mendaki.
Sontak, langsung kupandangi Andi. Apakah ini kejutan dari Andi, untuk melamarku
dan mempersiapkan semuanya sendirian. Aku memandangnya dengan mata yang
berbinar.
"Omi, aku akan menikah dengannya", Andi
menunjuk wanita yang duduk diantara orang tua itu. Kulepaskan tangan Moni yang
mengikat betisku dengan perban putih. Kucoba melirik semua orang, kupandangi
Andi, Mori, Ibu dan Ayah. Kupandangi mereka. Hanya tangisan ibu yang
mengisyaratkan bahwa apa yang kudengar ini benar. Kata-kata dari seorang pria
yang seharusnya mengatakan sah di depan orang tuaku. Hatiku remuk, tanganku
diraih oleh Andi, namun aku diam. Aku menunduk tanpa berani menatap siapapun.
Perlahan, aku tidak mendengar suara apapun. Aku mencoba untuk masuk ke kamar.
Kenapa rasanya jauh sekali, padahal aku hanya harus berjalan 15 langkah. Andi
mencoba menahanku, semua orang berdiri, dan aku berusaha tiba di kamar.
Semuanya gelap, dan hening. Mendadak kamar ini
terasa sempit, dadaku penuh dengan luapan emosi yang sejak tadi ku tahan.
Tangisku pecah di bawah bantal, sendiri, di kamar ini, kamar yang aku impikan
menjadi saksi cinta kami. Aku tidak mendengar apapun, hingga suara adzan subuh
membangunkanku.
Aku mengadu kepada sang pencipta. Aku menangis,
hingga lafas yang kuucapkan berganti dengan tangisan yang tertahan. Ya tuhan..
apa ini. Aku keluar kamar, dengan pakaian yang lengkap dan siap ingin pulang.
Aku berdandan sedikit menor, karena harus menyembunyikan mata yang sembab. Aku
berpamitan kepada keluarga Andi, aku beralasan harus pulang karena sudah habis
masa cuti. Andi tak nampak, dan aku bersyukur karena tidak harus melihatnya.
Ayolah, aku harus pergi, sebelum airmata ini tumpah, gumamku dalam hati. Aku
bertemu Andi depan pagar rumah bersama wanita itu, kulihat ia merangkul mesra
Andi. Kuberi senyuman, dan mengatakan hai kepada Andi. Butiran air jatuh dari
matanya yang bulat. Ia coba menahanku, aku melepaskan nya. Ia melempar tasku,
aku mengambilnya. Ia berlutut di hadapanku, dengan tangisan yang
tertahan.
Aku melepaskan tangganya yang memegang erat
pinggangku dan berjalan lurus menuju taksi yang sudah datang. Wanita itu
menahan Andi dan beberapa orang yang tak kukenal membawa Andi masuk ke rumah.
Aku hanya melihat sekilas dan berlalu.
Beberapa tahun berlalu.. aku tau, wanita itu
adalah Nita teman sekantor Andi yang pernah ikut saat kami pergi ke Bandung.
Dan orang yang tak kukenal adalah keluarganya. Semenjak mereka menikah, Andi
masih sering menghubungiku. Karena ego sebagai seorang perempuan, aku tak
mengubrisnya, biarlah ia mengarungi kehidupan bersama pasangan yang telah ia
pilih.
Karena pada akhirnya aku menemukan laki-laki yang akhirnya menjadi suamiku. Ia yang mampu mengukir tawa, menghapus lara, dan mencipta tawa di setiap hariku.
Akhirnya kupahami, melepaskan dengan ikhlas akan membuat dirimu dipertemukan dengan seseorang yang terbaik.
Komentar
Posting Komentar