Aku pamit untuk pulang ke Bengkulu, karena ada
beberapa urusan yang harus di selesaikan. Setelah berpamitan dengan keluarga
Andi, ia mengantarku ke bandara. Selama di perjalanan menuju bandara, Andi
memintaku menulis tempat yang ingin aku kunjungi bersamanya. Dan semakin hari
hubungan kami semakin mesra, hingga sekarang aku sudah menyelesaikan kuliahku.
Saat syukuran wisudaku, Andi datang ke Bengkulu.
Ia mengatakan ingin melamarku tahun depan, karena saat ini ia sedang di
promosikan untuk naik jabatan. Aku ingin menyiapkan semuanya sesempurna
mungkin, sesuai dengan cita-cita mu, Omi. Begitu katanya. Kukatakan iya, dengan
alasan aku juga ingin meniti karir dan menikmati masa lajang bersama orangtua
sebelum sah menjadi istri dan pindah ke Depok.
Hingga.. Andi menelpon dan memintaku untuk pergi
ke Depok, ia hanya mengatakan bahwa ia rindu dan ingin bertemu. E-ticket pun
kuterima, dengan jadwal kepulangan minggu depan pada tanggal 21 mei yang
bertepatan dengan anniversary hubungan kami ke-4 tahun.
Dari jauh kulihat sosok tubuh tegap dengan kemeja
putih dan celana jeans hitam dengan rambut cepak dan sebuah buket bungga
berwarna putih kebiruan, warna kesukaanku. Kuraih tubuh itu dan memeluknya
erat, lama tak jumpa, katanya. Seperti ada kerinduan yang amat dalam. Padahal
kami baru bertemu minggu lalu. Di mobil, Andi membuka sebuah kertas yang pernah
kutulis kemana tempat yang aku kunjungi bersama dengannya. Hanya 1 tempat,
mendaki Semeru berdua, hanya Andi dan Omi. Itu yang kutulis di kertas.
Besoknya kami berangkat ke Malang untuk
melaksanakan misi, yaa.. mendaki gunung Semeru. Gunung yang ingin kudaki
bersama kekasihku, pujaan hatiku dan calon pasangan hidup yang akan menemaniku
disaat aku tua. Perjalanan pertama kami mulai dari desa Ranu Pani, disana kami
bertemu kelompok pendaki yang lain. Kami pun mendaki bersama. Selama mendaki,
kami melewati lereng bukit yang d tumbuhi alang-alang dan terdapat pohon
tumbang. Serta di suguhi pemandangan hutan cemara dan pinus. Oh tuhan... aku
jatuh cinta lagi kepada laki-laki yang menggengam erat tanganku saat ini.
Saat tiba di kawasan Watu Rejeng, aku terpeleset
dan jatuh ke lembah yang menyebabkan luka sobek di betis. Andi menyusul ke
bawah lembah dan membantu naik keatas dibantu oleh teman-teman pendaki yang
lain. Darah yang masih mengucur dan aku yang tak henti merintih kesakitan
ketika di perban. Andi mencium keningku dan menggendongku, kami harus berjalan
selama setengah jam lagi agar tiba di Ranu Kumbolo, sebuah danau indah tempat
mendirikan tenda bagi para pendaki.
Entah bagaiamana caranya kami tiba di Ranu
Kumbolo dan menginap selama 3 hari, menunggu lukaku sedikit sembuh agar bisa
kembali pulang. Untungnya, selama disana lukaku tidak mengalami infeksi dan aku
dapat menikmati keindahan Ranu Kumbolo meski hanya duduk di tepi danau. Namun,
aku bahagia karena dia ada di sampingku. Membantu menjadi kaki ketikaku,
menjadi sandaran yang paling tepat dalam hidupku. Dia Andi, laki-laki yang
menyenderkan kepalanya di pundakku. Aku mencintainya dan ingin mengarungi kehidupan
ini bersamanya. Aku sangat yakin.
Kami pulang dengan cara yang sangat sulit untuk
di jelaskan. Memulai perjalanan dengan di gendongnya, dan meminta bantuan dari
pos untuk menjemput dan mengantarkan kami pulang ke stasiun kereta. Ada hal
yang lain ingin Andi katakan di kereta, namun tertahan. Entah apa itu, tapi aku
merasa Andi ingin mengatakan sesuatu.
Akhirnya aku tiba di rumahnya. Ketika di depan
rumah, kulihat rumah Andi ramai seperti akan ada hajatan besar. Kulihat bendera
berwarna-warni menghiasi rumahnya, kursi yang masih tersusun di pojokan, dan
peralatan makan yang masih terbungkus di beranda rumah. Ada beberapa orang yang
mengangkutnya ke dalam rumah, aku pegang tangan Andi, ia menoleh namun
tatapannya. Tatapan kesedihan yang teramat dalam, mata itu, tak biasanya sayu.
Mata yang indah, berbinar ketika menatapku mendadak berubah buram. Aku
terdiam.
Tatapan kami tersadarkan oleh sebuah sapaan,
terlihat ibu, Moni, ayah, dan beberapa orang yang tak kukenal sudah berdiri di
hadapanku. Kami masuk ke dalam ruang tamu, dengan pakaian khas kumal, betis
yang masih di ikat perban yang sudah berwarna kekuningan. Rambut yang
berantakan, dan bau badanku yang tidak sedap. Aku duduk diantara mereka, Andi
berada di sampingku. Orang tuanya di kursi sebelahku, dan semakin banyak orang
yang tidak ku kenal. Karena risih, aku meminta izin untuk membersihkan diri di
belakang.
Komentar
Posting Komentar