Ibu-ibu Desa Sidorejo & Banyumas |
Perempuan secara sikap
harus hangat, lembut, dan mengayomi. Lalu enak dipandang. Artinya segala produk
kecantikan dan produk fashion memang
hadir agar perempuan “enak di pandang”. Jika seorang anak perempuan berpakaian
seperti laki-laki misalnya menggunakan kaos oblong, jeans, sepatu sneaker, dan
tanpa make up. Maka ia akan di pandang aneh. Lalu menjadi olokan di lingkungan
sosialnya. Begitulah stigma yang tertanam jelas dalam tatanan masyarakat kita.
Namanya Aedin, seorang perempuan Tomboy yang merupakan
pemeran utama Film “AEDIN”. Film yang berdurasi 7 menit dan di sutradarai oleh
Zahratul Nurjannah dari rumah produksi UKM IMSI (Ikatan Mahasiswa Sinematografi)
tahun 2017. Film ini bercerita tentang “Hari Kartini” yang dirayakan oleh semua
perempuan kecuali dirinya. Aedin sedikit berbeda dengan tampilan perempuan
lainnya. Dengan potongan rambut pendek, muka polos tanpa bedakan apapun,
kemeja, celana jeans, dan kulit sawo matang sudah cukup menggambarkan
maskulinitas yang ia miliki.
Aedin ingin tampil di hadapan banyak orang, ia ingin
membacakan sebuah puisi yang menjadi harapannya di Hari Kartini. Namun, ia
tidak bisa. Keinginan dan penolakan berkecamuk di dalam dadanya. Bagian paling menarik adalah ia mencoba
memaksakan diri memakai lipstik. Namun, di hapus lagi. Ini adalah simbol bahwa
kenyamanan tidak bisa di manipulasi.
Kegiatan pemutaran dan diskusi Film Aedin bertempat di
Balai Posyandu Desa Sidorejo Kabupaten Rejang Lebong. Pada Hari Minggu tanggal
09 Desember 2018. Kegiatan ini di inisiasi oleh Forum Perempuan Muda Provinsi
Bengkulu Dampingan Cahaya Perempuan WCC Bengkulu. Dalam rangka kampanye 16 Hari
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Di moderatori oleh Bapak Nurkholis Sastro
yang merupakan Konselor di Cahaya Perempuan WCC dan Lica Veronika selaku Ketua
Pengurus Forum Perempuan Muda.
Kak Lica ketika berdiskusi kepada Bapak-Ibu-Remaja yang hadir |
Film Aedin menjadi refleksi bagi 40 peserta yang hadir,
yang di dominasi oleh ibu-ibu dan bapak-bapak. Remaja perempuan dan laki-laki
juga turut meramaikan. Mereka hadir dalam pembahasan Cegah Perkawinan Anak
Dimulai Dari Keluarga. Selaras dengan film Aedin yang kami putarkan.
“Kak Lica, apa yang
sebenarnya terjadi pada Aedin adalah kenyataan yang harus diterima oleh remaja
perempuan. Bagaimana menurut tanggapan kakak?”- Tanya Sofia, remaja kelurahan
Banyumas.
“Hallo Sofia. Ini adalah keinginan yang saya harapkan.
Bahwa dari film yang telah diputar, ada semangat untuk bercerita. Memang benar,
Aedin adalah refleksi dari sebuah realita yang terjadi di lingkungan kita. Dan
sebenarnya saya, kamu, kita, sangatlah dekat dengan seorang “Aedin”. Dan kita
tahu betul bagaimana masyarakat membedakan perlakuan kepada seorang perempuan
Tomboy.
Sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa warna pink adalah
untuk perempuan. Dan iklan make up di komersilkan untuk membuat para Perempuan
menjadi cantik. Mereka (Perempuan) akan di pandang anggun dan selayaknya ketika
menggunakan gaun dan make up. Lalu secara tingkah laku seorang perempuan pun
mendapat perhatian karena kelembutan yang ia miliki. Dan ketika kamu berbeda
maka kamu akan mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Memang begitulah
realitanya”. Ujar Kak Lica.
Dwi antusias bertanya,
“Banyak komentar negatif yang disampaikan oleh lingkungan sekitar ketika saya
berpenampilan tomboy, misalnya perempuan tomboy pasti suka dengan perempuan
juga. Nah, bagaimana dengan hal tersebut, kak?”.
“Saya menganggap bahwa keyakinan setiap perempuan tomboy
pasti suka dengan perempuan adalah sebuah mitos. Kita tahu bersama bahwa Tomboy
adalah kondisi dimana seorang perempuan berpenampilan seperti laki-laki dan
sudah kita sepakati bersama batasan mana yang menjadi pembeda tersebut. Secara
fisik misalkan suara lebih berat dan terdengar keras, Tangan yang berotot dan
memiliki kumis, itu bukan ciri-ciri perempuan Tomboy. Karena hal tersebut sudah
ada sejak lahir.
Berbicara penampilan adalah bicara arti kenyamanan. Kita
harus sama-sama menekankan bahwa apa yang saya kenakan dan yang saya lakukan,
itu atas dasar sebuah kenyamanan. Dan itu adalah yang utama. Jadi, ketika kamu
nyaman pakai kaos, maka tidak perlu merasa minder saat bertemu dengan seorang
yang mengenakan pakaian. Ini hanya pada sebuah penampilan. Bukankah ada quotes terkenal yang mengatakan “Don’t
Judge Book By The Cover”.
Namun, kita juga tidak bisa menapik kenyataan bahwa
perempuan Tomboy benar seperti yang diyakini oleh masyarakat. Dan sebuah
keyakinan dapat dijadikan acuan untuk berubah. Jika, ketakutan masyarakat
terhadap perempuan Tomboy adalah ia seorang lesbi. Maka, tugas kita yang sudah
terlanjut berpenampilan Tomboy adalah merubah mindset tersebut dengan cara
berperilaku sesuai norma dan adat yang berlaku”. Jawab kak Lica.
Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April adalah
perayaan bagi seluruh perempuan. Emansipasi wanita yang di gaungkan untuk
menyuarakan aspirasi setiap perempuan. Bagaimana pun keadaan fisik dan
penampilan yang dimiliki perempuan, selama masih menghormati adat istiadat.
Maka, kita semua berhak merayakan.
Selamat bersuara,
perempuan Bengkulu.
Salam hangat,
Lica Veronika
Komentar
Posting Komentar